PEMBAHASAN
A. Beberapa
Istilah Seputar Hadits dan Pengertiannya
Dalam literature hadits di
jumpai beberapa istilah lain yang menyebutkan Al-hadits seperti, Al-sunnah,
Al-khabar, dan Al-atsar. Dalam arti termonologi ketiga istilah
tersebut menurut kebanyakan ulama hadits adalah sama. Dengan termonologi Al- Hadist
meskipun, ada beberapa ulama yang membedakannya. Hadits dalam pengertian Al- khabar
(berita) dapat di jumpai di antaranya dalam surat
Al-Tur (52):34, Al-Khafi (18):6 dan surat
Al-Dhuha (93):11.
Dalam mengartikan
Al- Hadits secara terminologi (istilah)
antara ulama hadits dan ulama usul fiqih terjadi perbedaan pendapat. Menurut
ulama hadits arti hadits adalah sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi S.A.W
baik berupa perbuatan, perkataan, taqrir, maupun sifat (Mahmud Al- Thahan,
1983:15). Sedangkan ulama usul fiqih mengatajkan bahwa yang dimaksud dengan
hadits adalah segala perkataan perbuatan dan taqrir Nabi S.A.W yang berkaitan
dengan penetapan hukum.
Al-sunnah
dalam pengertian etimologi (bahasa) adalah jalan dan cara yang merupakan
kebiasaan yang baik atau yang jelek (Nur Al Din Al‘Athar, 1979:27). Hadits
dalam pengertian etimologi dapat dilihat dalam surat
Al- Khafi (18):55, surat Al- Fathir (35):43, surat Al- Anfal (8):38, surat
Al- Hijr (15):3, dan surat
Al- Ahzab (33):38.
adapun pengertian Al- Sunnah secara istilah (terminologi) seperti dikemukakan
oleh Muhammad Ajaj Atkhatab (1981:89) adalah segala yang bersumber dari
Rassulullah S.A.W baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat khalaqah atau
khuluqiyah, maupun perjalanan hidupnya sebelum atau sesudah ia di angkat
menjadi Rasul.
Al-
Khabar secara bahasa berarti Al- Naba (berita), sedangkan Al-Atsar berarti
pengaruh atau sisa sesuatu ( Baqiyat Al syai’ ). Arti terminology Al- Khabar
dan Al- Atsar menurut jumhur ulama memiliki arti yang sama yaitu sesuatu yang
di sandarkan kepada Nabi Muhammad S.A.W, sahabat, dan tabi’in. sedangkan menurut
ulama khurasah Al- atsar hanya untuk mauquf (disandarkan kepada sahabat ), dan
Al- khubat untuk yang marfu’ ( disandarkan kepada nabi ). Oleh karena itu baik
Al- Hadits , Al- sunnah, Al –Khabar, maupun Al- Atsar dilihat dari aspek
penyandaranada yang marfu’, mauquf, dan maqtha’ (disandarkan pada tabi’in)
tehadap keempat pengertiaan istilah diatas ( Al-Hadits, Al-Sunnah, Al-Khabar,
dan Al-Atsar).terutama aspek makna terminologinya ada ulama yang mempersamakan
artinya dan ada yang membedakan artinya. Ulama yang membedakan arti dari
keempat istilah tersebut mengaatakan Al-Hadits adalah sesuatu yang disandarkan
kepada nabi sedangkan Al-Sunnah adalah
sesuatu yang disandarkan tidak hanya kepada nabi Muhammad S.A.W, tetepi juga
sahabat dan tabi’in ( Nur Al Din Athar 1979: 29).
B. Fungsi dan
Kedudukan Hadits
Jumhur
ulama mengatakan bahwa Al-hadits menempati urutan kedua setelah Al-Quran untuk
hal ini Al Suyuti dan Al Qosim mengungkapkan pendapat diantaranya adalah
sebagai berikut:
- Al-Quran bersifat qath’i al wurud sedangkan al-hadits bersifat zhanni al-wurud karena itu yang qath’i harus didahulukan dari yang zhanni.
- Al-hadits berfungsi sebagai penjabaran Al-Quran ini harus diartikan bahwa yang menjelaskan kedudukannya setngkat dibawah yang dijelaskan.
- Ada beberapa hadits urutan dan kedudukan hadits setelah Al-Quran. Diantaranya dialog Rasulullah dengan Mu’adz bin Jabbal yang akan diutus kenegeri Yaman sebagai qadli dalam hal penetapan hokum. Saat itu Mu’adz menjawab bahwa dia akan menetapkan hokum berlandaskan urutan Al-Quran, Al-Hadits, dan Ijtihad. Hadits digunakan apabila tidak ditemukan ketetapan hukum dalam al-Quran. Sedangkan ijtihd digunakan apabila tidak ditemukan ketetapan hukum dalan hadits.
- Al-Quran sebagai wahyu sang pencipta sedangkan hadits berasal dari hamba dan utusan. Maka selayaknya bahwa yang berasal dari sang pencipta lebih tinggi kedudukannya daripada yang berasal dari utusan.
Terlepas
dari berbagai alas an atau dalil yang menunjukan bahwa kedudukan hadits
menempati kedudukan kedua setelah Al-Quran dalam tertib sumder hukum islam yang
menjelaskan didalam Al-Quran banyak ayat yang tidak dapat dijelaskan jika tidak
ada penjelasan yang dapat mengungkapkan makna yang dimaksud oleh ayat tersebut.
Dan yang bias menjelaskan itu adalah Rasulullah.. Oleh karena itu para sahabat
sering pergi menemui Rasululla untuk meminta keterangan dan penjelasan yang
diperlukan untuk memahami Al-quran yang bersifat kulli ( menyeluruh ).
Menurut
T.M. Hasybi Al-Shiddiqi sebagaimana dikutip oleh Endang Soetari Ad(1994 :111-128),
dan Mundzir supratman (1996:49-56), dan Fathurahman (1974:65) fungsi hadits
terhadap Al-Quran itu sebagai penjelas (al-bayan). Mereka kemudian membagi al-
baying dalam beberapa ketegori yang sesuai dan mengikuti kategori yang telah
diajukan ulama salaf. Faturahman (1974:65-69) “tampaknya” menyimpulkan
penjelasan serta ketgorisasi al-bayan dalam tiga hal: pertama hadits
bersfungsi menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan Al-Quran
fungsi ini mengaju pada bayan al-taqrir dan bayan al-ta’kid. Controhnya
ada kewajiban berpuasa jika melihat bualn (QS. Al-Baqarah (2): 185) lalu
dikuatkan hadits yang mengatakan bahwa nabi Muhammad SAW bersabda “berpuasalah
jika kamu melihat bulan dan berbukalah jika melihan bulan lagi”.
Kedua,
hadits berfungsi merinci dan
menginterprestasi ayat-ayat Al-Quran yang global serta memberikan persyaratan
terhadap ayat –ayat yang mutlak. Di samping itu ia pun juga berfungsi
mengkhususkan terhadap ayat – ayat uyang bersifat umum (‘am)
Tiga,
hadits berfungsi menetapkan aturan
atau hukum yang tidak ada dalam Al-quran. Undang undang dan peraturan-
peraturan manusia secara garis besar di tetapkan dalam Al-quran. Meskipun
demikian Rasulullah SAW pernah menetapkan hukum yang belum pernah ada
ketetapannya secara eksplisif dalam Al-quran. Penetapan hukum yang toidak di
singgung dalam Al-quran contoh nya dalam menetapkan tidak dibolehkan nya memadu
antara bibi dan keponakan.
Empat
Al-Hadits menjelaskan naskh.
Misalnya, ayat tentang tidak ada wasiat bagi pewaris menghapus
ayat tentang anjuran memberi wasiat kepada kedua orang tua dan kerabat.
Lima Al-Hadits menjelaskan hukum tambahan.
Misalnya, ayat الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا
مِئَةَ hukuman zina bagi pezina ghairu mukhshan dan rajam
adalah bagi pezina mukhshan
C. Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Hadits
Terdapat berbagai cara
untuk menguraikan tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits.
Penulisan resmi hadits dalam kitab –kitab hadits, seperti di jumpai sekarang baru
dimulai pada masa Bani Umayah yaitu pada
zaman Umar Bin Abdul Aziz. Dilihat dari pertumbuhan dan perkembangan hadits
dari waktu ke waktu akan di paparkan mulai zaman Nabi sampai penulisan secara
resmi di sebut juga tadwin. Hal ini di perlukan sebagai upaya untuk
melihat perjalanan hadits secara periodik. Ada
yang membaginya menjadi tiga periode, lima
periode, bahkan tujuh periode. Di bawah ini periodisasi secara garis besar :
Periode
pertama adalah periode Nabi dan disebut masa wahyu dan pembentukan. Pada
periode ini Nabi melarang para sahabat menulis hadits, karena di khawatirkan
hadits bercampur dengan Al-quran juga agar poternsi umat islam lebih tercurah
kepada Al-quran. Larangan tersebut tidak menutup adanya izin menulis hadits
kepada orang – orang tertentu. Suatu riwayat menyebutkan bahwa beliau selain
melarang juga memerintahkan kepada sahabat untuk menulis hadits. Dengan adanya
perintah tersebut, secara tidak resmi proses penulisan hadits secara pribadi
berlangsung pada masa Rasulullah. Pada masa ini para sahabat menerima hadits
dari Nabi denhgan dua cara yaitu langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara
langsung diantaranya melalui ceramah atau khutbah, pengajian atau penjelasan
terhadap pertanyaan yang di sampaikan kepada Rsulullah SAW. Adapun yang tidak
langsung melalui utusan dari nabi ke daerah – daerah atau utusan dari daerah
yang dating kepada nabi. Ciri utama periode ini adalah aktifnya para sahabat
menerima wahyu dan menyampaikan nya melalui hafalan.
Periode
kedua adalah zaman khulafaur rasyidin. Masa ini dikenal dengan periode
pembatasan hadits dan penyelidikan riwayat. Para
sahabat meriwayatkan hadits dengan dua
cara: lafdzi dan ma'nawi. Periwayatan lafdzi adalah redaksi hadits yang
diriwayatkan betul-betul sama dengan yang disabdakan oleh nabi. Sedangkan
periwayatan ma'nawi adalah redaksi hadits yang diriwayatkan berbeda dengan
dengan yang disabdakan nabi tapi substansinya sama.
Periode
ketiga adalah penyebaran hadits keberbagai wilayah yang berlangsung pada masa
sahabat kecil dan tabi'in besar. Pada masa ini wilayah islam sudah mencapai ke
syam, Irak, Mesir, Persia,
Samarkand, dan
Spanyol.
Periode
keempat adalah periode penulisan dan pembukuan hadis secara resmi. Penulisan
dimulai setelah ada perintah resmi dari khalifah Umar bin Abdul Aziz ( 717-720
M ) sampai akhir abad ke 8 M. Latar belakang Umar menginstruksikan untuk
membukukan hadits secara resmi adalah bercampur baurnya hadits shahih dan
hadits palsu, serta rasa takut lenyapnya hadits-hadits dengan meninggalnya para
ulama dalam perang. Pembukuan hadits berlangsumg sampai pada masaBani Abbas
sampai melahirkan ulamahadits seperti: Ibnu juraij ( w 179 H ) di Mekah, Abi
Ishaq ( w 151 H ), dan Imam Malik (w 179 H ) dimadinah, Al Rabi bin Jabih (w
160 H ) dan Abdul Rahman Al Aziz ( w 156 H ) di suria. Dalam masa ini banyak
dihasilkan sejumlah kitab-kitab hadits karya para ulama. Kitab-kitab tersebut
belum terseleksi betul sehingga isinya masih bercampur antara hadits nabi dan
fatwa sahabat, bahkan tabi'in atau hadis marfu', mauquf dan maqthu' disamping
juga hadits palsu.
Periode
kelima adalah periode pemurnian,penyehatan dan penyempurnaan yang berlangsung
antara awal abab ke 3 sampai akhir abad ke 3 H. Atau tepatnya saat masa dinasti
Abbasiah dipegang oleh khalifah Al-ma'num sampai Al-Mu'tadir. Para
ulama pada periode ini memisahkan hadits marfu' dari hadits yangmauquf dan
maqthu'. Sebagai kerja keras para ulama pada periode ini adalah lahirnya kitab
hadits yang sudah terseleksi seperti kitab shahih, kitab sunan dan kitab
misnad. Kitab shahih adalah kitab hadits yang hanya memuat hadits-hadits
shahih. Kitab sunan adalah kitab hadits yang memuat hadits-hadits shahih dan
hadits yang tidak terlalu lemah (dhaif). Sedangkan kitab musnad adalah kitab
hadis yang mengoleksi segala hadits
tanpa memperhatikan kualitasnya (shahih atau tidak) disamping juga tidak
menerangkan drajad hadits.
Pada
periode ini tersusun 6 kitab hadits
terkenal yang biasa disebut kutub al siitah yaitu:
1.
Al-Jami' Al-Shahih karya Imam
Bukhori (194-252 H)
2.
Al-Jami' Al-Shahih karya Imam
Muslim (204-261 H)
3.
Al-Sunan Adu Dawud karya Abu Dawut
(202-275 H)
4.
Al-Sunan karya Ath-Thirmizi
(200-279 H)
5.
Al-Sunan karya An-Nasai (215-302
H)
6.
Al-Sunan karya Bin Majah (207-273
H)
Periode
keenam adalah masa pemeliharaan, penertiban, pemanbahan, dan penghimpunan.
Periode ini berlangsung sekitar dua setengah abad yaitu antara abad keempat
sampai pertengahan abad ke tujuh masehi
saat jatuhnya dinasti Abbasiah ketangan Khulagukan tahun 656H/1258 M.
Gerakan
ulama hadits pada periode ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan periode
sebelumnya. Hasil dari dari gerakan para ulama periode ini adalah lahirnya
sejumlah kitab hadits yang berbeda seperti kitab syarah, kitab mustakhrij,
kitab ahtraf, kitab mustadrat dan kitab jami'.
Kitab syarah adalah kitab hadits yang memperjelas dan mengomentari
hadits-hadits tertentu yang sudah tersusun dalam kitab hadits sebelumnya. Kitab
mustakhrij adalah kitab hadits yang metode pengumpulan haditsnya dengan cara
mengambil hadits dari ulama tertentu lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri
yang berbeda dari sanad ulama hadits tersebut. Kitab athraf adalah kitab hadits
yang hanya memuat sebagian matan hadits, tetapi sanadnya ditulis lengkap. Kitab
mustadrat adalah kitab hadits yang memuat hadits-hadits yang memenuhi
syarat-syarat Bukhori dan Muslim atau salah satu dari keduanya. Kitab jami'
adalah kitab yang memuat hadits-hadits yang telah termuat dalam kitab-kitab
yang telah ada.
Ulama-ulama
hadits dan kitab-kitab hadits yang termasyur dalam periode ini antara lain:
1.
Sulaiman bin Ahmad Al-Thobari (
Al-mu'jam Al khair, Al-mu'jam al ausath dan Al mu'jam Al shagir)
2.
Abdul hasan ali bin umar bin ahmad
al daruquhni ( sunan al duruqthni)
3.
Abu awanah ya'kub al syafrayani (
shahih awanah )
4.
Ibnu khuzaimah muhammad bin ishaq
( shahih al khuzaimah )
5.
Abu bakar ahmad bin hasan ali al
baihaqi ( sunan al kubra )
6.
Mujaddin al harrani ( muntaq al
akhbar )
7.
Al syaukani ( nail al authar
sebagai syarh kitab muntaq al akbar )
8.
al munziri( al taqrib wa al tahrib
)
9.
Al shiddiqi ( dalil al falihim )
10. Muhyiddin abi zakaria al nawiwi ( riydl al shalihin )
Periode
ketujuh adalah periode pensyarahan, penghimpunan, dan pentakhrijan. Periode ini
merupakan lanjutan dari periode sebelumnya, terutama dalam aspek pensyarahan
dan pengumpuan hadits-hadits. Ulama periode ini mulai mensistemkan
hadits-hadits menurut kehendak penyusun, memperbaharui kitab-kitab mustakhraj
dengan cara membagi-bagi hadits menurut kualitasnya. Mereka cenderug menyusun
hadits sesuai dengan topik pembicaraan.
D. Unsur-Unsur Hadits
Sebagai gambaran umum hadits
mempunyai tiga unsur pokok yaitu sanad, matan dan rawi. Sanad adalah jalan yang
menyampaikan kepada matan hadits.
Matan adalah isi
dari hadits.
Rawi adalah
orang yang meriwayatkan hadits (mengeluarkan / mentakhrij).
Hadits dilihat
dari segi tingkatan sanad:
Mutawatir:
hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang dan tak terhitung jumlahnya.
Masyhur: hadits
yang diriwayatkan lebih dari 2 orang.
Ahad: hadits
yang diriwayatkan oleh seorang.
Hadits Ahad ada
3 yaitu:
- Hadits Shahih: sanadnya bersambung-sambung diriwayatkan oleh orang yang adil dan kokoh ingatannya juga tidak terdapat keganjilan dan cacat yang memburukkannya.
- Hadits Hasan: sanadnya bersambung-sambung diriwayatkan oleh orang yang tidak mempunyai derajat kepercayaan yang sempurna
- Hadits Dla’if adalah yang tidak terdapat syarat-syarat shahih dan syarat-syarat hasan.
E. Faktor-Faktor
yang mendukung Periwayatan Hadits
Ada beberapa faktor yang mendukung
periwayatan hadits dari Nabi SAW hingga sampai kepada kita. faktor-faktor
tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Cara Nabi berbicara
perlahan-lahan, dengan mengulang-ulang dan jelas apa yang diucapkan.
2.
Nabi dikenal sebagai orang yang
fasih dan bagus ssunan perkataannya.
3.
Nabi sering menyesuaikan dialeg ucapannya dengan lawan yang
diajak bicara.
4.
Para
sahabat yang menerima hadist memandang nabi sebagai idola mereka.
5.
Sahabat yang mendengar ucapan nabi
yakin benar bahwa ucapannya mengandung makna yang dalam dan mengandung kebenaran.
6.
Para
sahabat memiliki daya ingat dan hafalan yang sangat kuat.
7. Para tabi'in menganggap bahwa
apa yang mereka terima dan yang ada pada nabi adalah suatu yang berharga.
F.
Ummahatul Muknminin
dalam Meriwayatkan Hadits
Dalam lintas sejarah Islam, Umahatul mukminin
mempunyai peranan yang sangat penting dalam penyebaran hadis dan
pengajaran agama pada generasi sahabat dan tabi’in terutama kepada kalangan
wanita muslimah. Tidak dapat dipungkiri, bahwa mereka adalah
wanita-wanita mulia yang mendapat kesempatan merekam secara detail segala
perikehidupan Rasulullah saw, yang kemudian disampaikan pada kaum muslimin.
Mereka merupakan rujukan pertama bagi para sahabat – setelah wafatnya
Rasulullah saw– dalam menanyakan masalah-masalah tertentu, terlebih masalah
yang berkaitan dengan keluarga dan wanita. Rumah-rumah mereka dijadikan
sebagai madrasah-madrasah ilmu, tempat kaum muslimin bertanya dan meminta
fatwa. Sehingga keberadaan Ummahatul mukminin menempati posisi
terpenting, baik sebagai sumber pembelajaran ataupun sebagai figur teladan —
khususnya bagi kaum muslimah — dalam keimanan. Begitu juga dalam komitmen
mereka mempertahankan norma-norma Islam, dimana mereka harus mengemban
kewajiban-kewajiban khusus dan berat, sebagai konsekwensi logis atas tingkatan
prestise yang mereka dapat melampaui wanita-wanita lain dalam masyarakat ,
sebagaimana firman Allah swt dalam surat al-Ahzab ayat 32-33, yang artinya :
“Hai
istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita-wanita lain jika kamu
bertakwa. Maka janganlah kamu “tunduk” dalam berbicara, sehingga berkeinginan orang
yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang jahiliyah terdahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat, dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya,. Sesungguhnya Allah ingi
menghilangkan dosa dari kamu hai Ahlu bait dan memberihkanmu
sebersih-bersihnya.”
Bagaimanapun, Al-quran dan hadis juga menggambarkan mereka sebagai
sejumlah gambaran pribadi yang diwarnai berbagai konflik. Bahkan, mereka
merupakan pemicu turunnya mayoritas ayat-ayat dan hadis-hadis tentang keluarga
dan wanita. Mereka digambarkan sebagai implementasi emosionalisme,
irrsionalitas, keserakahan dan sikap pembangakangan perempuan, yang pada
dasarnya, mewakili gambaran sikap dan tindak tanduk perempuan secara
keseluruhan.
Rasulullah saw wafat dan meninggalkan sembilan Ummahatul mukminin, yang
masing-masing mempunyai andil dalam periwayatan hadis. Perbedaan kuantitas
hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah saw, dipengaruhi sedikitnya oleh 5
faktor, yaitu :
1. perbedaan daya tangkap, daya hafal dan kapasitas intelektual.
2. perbedaan durasi waktu mendampingi atau bersama dengan Rasulullah saw.
3. perbedaa dalam menahan diri untuk meriwayatkan hadis
4. perbedaan kesibukan
5. perbedaan umur atau masa hidup setelah Rasulullah saw wafat.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Demikian pengantar singkat
mengenai hadits sebagai sumber ajaran ajaran islam bagi umat islam. Kedudukan
hadist sangat penting sebab banyak ayat al-quran yang tidak dapat dipahami
dengan baik dan tidak dapat diamalkan tanpa penjelasan dari hadits Nabi
Muhammad SAW.
Dalam
memahami ajaran islam dan mengamalkannya dengan benar dan baik umat islam harus
berpegang pada Al-Quran dan Hadits. Karena itu para ulama berusaha keras untuk
mengumpulkan hadits dalam berbagai kitab yang sekarang dapat kita jumpai. untuk
memahami hadis para ulama juga menyusun kitab-kitab hadis yang mencoba
menjelaskan hadits dari berbagai aspek serta menghubungkannya dengan Al-Quran.
Karena
hadits sifatnya berbeda dengan Al-Quran
dan tidak ditulis pada zaman nabi maka masuk kedalamnya hadits-hadits
palsu. Namun kepalsuan tersebut segera dapat diketahui berkat usaha keras para
ulam menetapkan prinsip-prinsip penyaringan hadits. Kini telah tersedia
hadits-hadits sebagai hasil dari ulama terdahulu. Umat islam tidak lagi sulit
menentukan kualitas-kualitasnya, shahih, sunan, dhaif dan sebagainya.
semoga
apa yang disampaikan pada makalah ini dapat membantu untuk memahami dan
mendalami hadits lebih lanjut. Semoga Allah memberikan taufik dan hidayah-Nya
kepada kita semua. Anim...
DAFTAR PUATAKA
Hakim, MA,Drs.
Atanng abdul dan Dr. Jaih Mubarok.2001.Metodologi
Studi Islam.Bandung:PT Renaja rosdakarya.
Nata,MA,Drs. Abuddin.1994.Al-Qur’an dan Hadits.Jakarta:PT rajagrafindo Persada
http//www.google.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar