Selasa, 10 Desember 2013

AL-HADITS SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM



PEMBAHASAN

A.   Beberapa Istilah Seputar Hadits dan Pengertiannya

          Dalam literature hadits di jumpai beberapa istilah lain yang menyebutkan Al-hadits seperti, Al-sunnah, Al-khabar, dan Al-atsar. Dalam arti termonologi ketiga istilah tersebut menurut kebanyakan ulama hadits adalah sama. Dengan termonologi Al- Hadist meskipun, ada beberapa ulama yang membedakannya. Hadits dalam pengertian Al- khabar (berita) dapat di jumpai di antaranya dalam surat Al-Tur (52):34, Al-Khafi (18):6 dan surat Al-Dhuha (93):11.
            Dalam mengartikan Al- Hadits secara terminologi  (istilah) antara ulama hadits dan ulama usul fiqih terjadi perbedaan pendapat. Menurut ulama hadits arti hadits adalah sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi S.A.W baik berupa perbuatan, perkataan, taqrir, maupun sifat (Mahmud Al- Thahan, 1983:15). Sedangkan ulama usul fiqih mengatajkan bahwa yang dimaksud dengan hadits adalah segala perkataan perbuatan dan taqrir Nabi S.A.W yang berkaitan dengan penetapan hukum.
            Al-sunnah dalam pengertian etimologi (bahasa) adalah jalan dan cara yang merupakan kebiasaan yang baik atau yang jelek (Nur Al Din Al‘Athar, 1979:27). Hadits dalam pengertian etimologi dapat dilihat dalam surat Al- Khafi (18):55, surat Al- Fathir (35):43, surat Al- Anfal (8):38, surat Al- Hijr (15):3, dan surat
 Al- Ahzab (33):38. adapun pengertian Al- Sunnah secara istilah (terminologi) seperti dikemukakan oleh Muhammad Ajaj Atkhatab (1981:89) adalah segala yang bersumber dari Rassulullah S.A.W baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat khalaqah atau khuluqiyah, maupun perjalanan hidupnya sebelum atau sesudah ia di angkat menjadi Rasul.

            Al- Khabar secara bahasa berarti Al- Naba (berita), sedangkan Al-Atsar berarti pengaruh atau sisa sesuatu ( Baqiyat Al syai’ ). Arti terminology Al- Khabar dan Al- Atsar menurut jumhur ulama memiliki arti yang sama yaitu sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi Muhammad S.A.W, sahabat, dan tabi’in. sedangkan menurut ulama khurasah Al- atsar hanya untuk mauquf (disandarkan kepada sahabat ), dan Al- khubat untuk yang marfu’ ( disandarkan kepada nabi ). Oleh karena itu baik Al- Hadits , Al- sunnah, Al –Khabar, maupun Al- Atsar dilihat dari aspek penyandaranada yang marfu’, mauquf, dan maqtha’ (disandarkan pada tabi’in) tehadap keempat pengertiaan istilah diatas ( Al-Hadits, Al-Sunnah, Al-Khabar, dan Al-Atsar).terutama aspek makna terminologinya ada ulama yang mempersamakan artinya dan ada yang membedakan artinya. Ulama yang membedakan arti dari keempat istilah tersebut mengaatakan Al-Hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada nabi  sedangkan Al-Sunnah adalah sesuatu yang disandarkan tidak hanya kepada nabi Muhammad S.A.W, tetepi juga sahabat dan tabi’in ( Nur Al Din Athar 1979: 29).

B.   Fungsi dan Kedudukan Hadits

            Jumhur ulama mengatakan bahwa Al-hadits menempati urutan kedua setelah Al-Quran untuk hal ini Al Suyuti dan Al Qosim mengungkapkan pendapat diantaranya adalah sebagai berikut:
  1. Al-Quran bersifat qath’i al wurud sedangkan al-hadits bersifat zhanni al-wurud karena itu yang qath’i harus didahulukan dari yang zhanni.
  2. Al-hadits berfungsi sebagai penjabaran Al-Quran ini harus diartikan bahwa yang menjelaskan kedudukannya setngkat dibawah yang dijelaskan.
  3. Ada beberapa hadits urutan dan kedudukan hadits setelah Al-Quran. Diantaranya dialog Rasulullah dengan Mu’adz bin Jabbal yang akan diutus kenegeri Yaman sebagai qadli dalam hal penetapan hokum. Saat itu Mu’adz menjawab bahwa dia akan menetapkan hokum berlandaskan urutan Al-Quran, Al-Hadits, dan Ijtihad. Hadits digunakan apabila tidak ditemukan ketetapan hukum dalam al-Quran. Sedangkan ijtihd digunakan apabila tidak ditemukan ketetapan hukum dalan hadits.
  4. Al-Quran sebagai wahyu sang pencipta sedangkan hadits berasal dari hamba dan utusan. Maka selayaknya bahwa yang berasal dari sang pencipta lebih tinggi kedudukannya daripada yang berasal dari utusan.
            Terlepas dari berbagai alas an atau dalil yang menunjukan bahwa kedudukan hadits menempati kedudukan kedua setelah Al-Quran dalam tertib sumder hukum islam yang menjelaskan didalam Al-Quran banyak ayat yang tidak dapat dijelaskan jika tidak ada penjelasan yang dapat mengungkapkan makna yang dimaksud oleh ayat tersebut. Dan yang bias menjelaskan itu adalah Rasulullah.. Oleh karena itu para sahabat sering pergi menemui Rasululla untuk meminta keterangan dan penjelasan yang diperlukan untuk memahami Al-quran yang bersifat kulli ( menyeluruh ).
            Menurut T.M. Hasybi Al-Shiddiqi sebagaimana dikutip oleh Endang Soetari Ad(1994 :111-128), dan Mundzir supratman (1996:49-56), dan Fathurahman (1974:65) fungsi hadits terhadap Al-Quran itu sebagai penjelas (al-bayan). Mereka kemudian membagi al- baying dalam beberapa ketegori yang sesuai dan mengikuti kategori yang telah diajukan ulama salaf. Faturahman (1974:65-69) “tampaknya” menyimpulkan penjelasan serta ketgorisasi al-bayan dalam tiga hal: pertama hadits bersfungsi menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan Al-Quran fungsi ini mengaju pada bayan al-taqrir dan bayan al-ta’kid. Controhnya ada kewajiban berpuasa jika melihat bualn (QS. Al-Baqarah (2): 185) lalu dikuatkan hadits yang mengatakan bahwa nabi Muhammad SAW bersabda “berpuasalah jika kamu melihat bulan dan berbukalah jika melihan bulan lagi”.
            Kedua,  hadits berfungsi merinci dan menginterprestasi ayat-ayat Al-Quran yang global serta memberikan persyaratan terhadap ayat –ayat yang mutlak. Di samping itu ia pun juga berfungsi mengkhususkan terhadap ayat – ayat uyang bersifat umum (‘am)
            Tiga,  hadits berfungsi menetapkan aturan atau hukum yang tidak ada dalam Al-quran. Undang undang dan peraturan- peraturan manusia secara garis besar di tetapkan dalam Al-quran. Meskipun demikian Rasulullah SAW pernah menetapkan hukum yang belum pernah ada ketetapannya secara eksplisif dalam Al-quran. Penetapan hukum yang toidak di singgung dalam Al-quran contoh nya dalam menetapkan tidak dibolehkan nya memadu antara bibi dan keponakan.
            Empat  Al-Hadits menjelaskan naskh.
Misalnya, ayat tentang tidak ada wasiat bagi pewaris menghapus ayat tentang anjuran memberi wasiat kepada kedua orang tua dan kerabat.
            Lima Al-Hadits menjelaskan hukum tambahan.
 Misalnya, ayat الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ   hukuman zina bagi pezina ghairu mukhshan dan rajam adalah bagi pezina mukhshan



C.   Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hadits
         
          Terdapat berbagai cara untuk menguraikan tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits. Penulisan resmi hadits dalam kitab –kitab hadits, seperti di jumpai sekarang baru dimulai pada masa Bani Umayah  yaitu pada zaman Umar Bin Abdul Aziz. Dilihat dari pertumbuhan dan perkembangan hadits dari waktu ke waktu akan di paparkan mulai zaman Nabi sampai penulisan secara resmi di sebut juga tadwin. Hal ini di perlukan sebagai upaya untuk melihat perjalanan hadits secara periodik. Ada yang membaginya menjadi tiga periode, lima periode, bahkan tujuh periode. Di bawah ini periodisasi secara garis besar :
            Periode pertama adalah periode Nabi dan disebut masa wahyu dan pembentukan. Pada periode ini Nabi melarang para sahabat menulis hadits, karena di khawatirkan hadits bercampur dengan Al-quran juga agar poternsi umat islam lebih tercurah kepada Al-quran. Larangan tersebut tidak menutup adanya izin menulis hadits kepada orang – orang tertentu. Suatu riwayat menyebutkan bahwa beliau selain melarang juga memerintahkan kepada sahabat untuk menulis hadits. Dengan adanya perintah tersebut, secara tidak resmi proses penulisan hadits secara pribadi berlangsung pada masa Rasulullah. Pada masa ini para sahabat menerima hadits dari Nabi denhgan dua cara yaitu langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara langsung diantaranya melalui ceramah atau khutbah, pengajian atau penjelasan terhadap pertanyaan yang di sampaikan kepada Rsulullah SAW. Adapun yang tidak langsung melalui utusan dari nabi ke daerah – daerah atau utusan dari daerah yang dating kepada nabi. Ciri utama periode ini adalah aktifnya para sahabat menerima wahyu dan menyampaikan nya melalui hafalan.
            Periode kedua adalah zaman khulafaur rasyidin. Masa ini dikenal dengan periode pembatasan hadits dan penyelidikan riwayat. Para  sahabat meriwayatkan hadits dengan dua cara: lafdzi dan ma'nawi. Periwayatan lafdzi adalah redaksi hadits yang diriwayatkan betul-betul sama dengan yang disabdakan oleh nabi. Sedangkan periwayatan ma'nawi adalah redaksi hadits yang diriwayatkan berbeda dengan dengan yang disabdakan nabi tapi substansinya sama.
            Periode ketiga adalah penyebaran hadits keberbagai wilayah yang berlangsung pada masa sahabat kecil dan tabi'in besar. Pada masa ini wilayah islam sudah mencapai ke syam, Irak, Mesir, Persia, Samarkand, dan Spanyol.
            Periode keempat adalah periode penulisan dan pembukuan hadis secara resmi. Penulisan dimulai setelah ada perintah resmi dari khalifah Umar bin Abdul Aziz ( 717-720 M ) sampai akhir abad ke 8 M. Latar belakang Umar menginstruksikan untuk membukukan hadits secara resmi adalah bercampur baurnya hadits shahih dan hadits palsu, serta rasa takut lenyapnya hadits-hadits dengan meninggalnya para ulama dalam perang. Pembukuan hadits berlangsumg sampai pada masaBani Abbas sampai melahirkan ulamahadits seperti: Ibnu juraij ( w 179 H ) di Mekah, Abi Ishaq ( w 151 H ), dan Imam Malik (w 179 H ) dimadinah, Al Rabi bin Jabih (w 160 H ) dan Abdul Rahman Al Aziz ( w 156 H ) di suria. Dalam masa ini banyak dihasilkan sejumlah kitab-kitab hadits karya para ulama. Kitab-kitab tersebut belum terseleksi betul sehingga isinya masih bercampur antara hadits nabi dan fatwa sahabat, bahkan tabi'in atau hadis marfu', mauquf dan maqthu' disamping juga hadits palsu.
            Periode kelima adalah periode pemurnian,penyehatan dan penyempurnaan yang berlangsung antara awal abab ke 3 sampai akhir abad ke 3 H. Atau tepatnya saat masa dinasti Abbasiah dipegang oleh khalifah Al-ma'num sampai Al-Mu'tadir. Para ulama pada periode ini memisahkan hadits marfu' dari hadits yangmauquf dan maqthu'. Sebagai kerja keras para ulama pada periode ini adalah lahirnya kitab hadits yang sudah terseleksi seperti kitab shahih, kitab sunan dan kitab misnad. Kitab shahih adalah kitab hadits yang hanya memuat hadits-hadits shahih. Kitab sunan adalah kitab hadits yang memuat hadits-hadits shahih dan hadits yang tidak terlalu lemah (dhaif). Sedangkan kitab musnad adalah kitab hadis yang mengoleksi  segala hadits tanpa memperhatikan kualitasnya (shahih atau tidak) disamping juga tidak menerangkan drajad hadits.
            Pada periode ini tersusun 6 kitab hadits  terkenal yang biasa disebut kutub al siitah yaitu:
1.      Al-Jami' Al-Shahih karya Imam Bukhori (194-252 H)
2.      Al-Jami' Al-Shahih karya Imam Muslim (204-261 H)
3.      Al-Sunan Adu Dawud karya Abu Dawut (202-275 H)
4.      Al-Sunan karya Ath-Thirmizi (200-279 H)
5.      Al-Sunan karya An-Nasai (215-302 H)
6.      Al-Sunan karya Bin Majah (207-273 H)
            Periode keenam adalah masa pemeliharaan, penertiban, pemanbahan, dan penghimpunan. Periode ini berlangsung sekitar dua setengah abad yaitu antara abad keempat sampai  pertengahan abad ke tujuh masehi saat jatuhnya dinasti Abbasiah ketangan Khulagukan tahun 656H/1258 M.
            Gerakan ulama hadits pada periode ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan periode sebelumnya. Hasil dari dari gerakan para ulama periode ini adalah lahirnya sejumlah kitab hadits yang berbeda seperti kitab syarah, kitab mustakhrij, kitab ahtraf, kitab mustadrat dan  kitab jami'. Kitab syarah adalah kitab hadits yang memperjelas dan mengomentari hadits-hadits tertentu yang sudah tersusun dalam kitab hadits sebelumnya. Kitab mustakhrij adalah kitab hadits yang metode pengumpulan haditsnya dengan cara mengambil hadits dari ulama tertentu lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang berbeda dari sanad ulama hadits tersebut. Kitab athraf adalah kitab hadits yang hanya memuat sebagian matan hadits, tetapi sanadnya ditulis lengkap. Kitab mustadrat adalah kitab hadits yang memuat hadits-hadits yang memenuhi syarat-syarat Bukhori dan Muslim atau salah satu dari keduanya. Kitab jami' adalah kitab yang memuat hadits-hadits yang telah termuat dalam kitab-kitab yang telah ada.
            Ulama-ulama hadits dan kitab-kitab hadits yang termasyur dalam periode ini antara lain:
1.      Sulaiman bin Ahmad Al-Thobari ( Al-mu'jam Al khair, Al-mu'jam al ausath dan Al mu'jam Al shagir)
2.      Abdul hasan ali bin umar bin ahmad al daruquhni ( sunan al duruqthni)
3.      Abu awanah ya'kub al syafrayani ( shahih awanah )
4.      Ibnu khuzaimah muhammad bin ishaq ( shahih al khuzaimah )
5.      Abu bakar ahmad bin hasan ali al baihaqi ( sunan al kubra )
6.      Mujaddin al harrani ( muntaq al akhbar )
7.      Al syaukani ( nail al authar sebagai syarh kitab muntaq al akbar )
8.      al munziri( al taqrib wa al tahrib )
9.      Al shiddiqi ( dalil al falihim )
10.  Muhyiddin abi zakaria al nawiwi ( riydl al shalihin )
            Periode ketujuh adalah periode pensyarahan, penghimpunan, dan pentakhrijan. Periode ini merupakan lanjutan dari periode sebelumnya, terutama dalam aspek pensyarahan dan pengumpuan hadits-hadits. Ulama periode ini mulai mensistemkan hadits-hadits menurut kehendak penyusun, memperbaharui kitab-kitab mustakhraj dengan cara membagi-bagi hadits menurut kualitasnya. Mereka cenderug menyusun hadits sesuai dengan topik pembicaraan.

D. Unsur-Unsur Hadits

            Sebagai gambaran umum hadits mempunyai tiga unsur pokok yaitu sanad, matan dan rawi. Sanad adalah jalan yang menyampaikan kepada matan hadits.
Matan adalah isi dari hadits.
Rawi adalah orang yang meriwayatkan hadits (mengeluarkan / mentakhrij).
Hadits dilihat dari segi tingkatan sanad:
Mutawatir: hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang dan tak terhitung jumlahnya.
Masyhur: hadits yang diriwayatkan lebih dari 2 orang.
Ahad: hadits yang diriwayatkan oleh seorang.
Hadits Ahad ada 3 yaitu:
  1. Hadits Shahih: sanadnya bersambung-sambung diriwayatkan oleh orang yang adil dan kokoh ingatannya juga tidak terdapat keganjilan dan cacat yang memburukkannya.
  2. Hadits Hasan: sanadnya bersambung-sambung diriwayatkan oleh orang yang tidak mempunyai derajat kepercayaan yang sempurna
  3. Hadits Dla’if adalah yang tidak terdapat syarat-syarat shahih dan syarat-syarat hasan.

E.   Faktor-Faktor yang mendukung Periwayatan Hadits

          Ada beberapa faktor yang mendukung periwayatan hadits dari Nabi SAW hingga sampai kepada kita. faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Cara Nabi berbicara perlahan-lahan, dengan mengulang-ulang dan jelas apa yang diucapkan.
2.      Nabi dikenal sebagai orang yang fasih dan bagus ssunan perkataannya.
3.      Nabi sering  menyesuaikan dialeg ucapannya dengan lawan yang diajak bicara.
4.      Para sahabat yang menerima hadist memandang nabi sebagai idola mereka.
5.      Sahabat yang mendengar ucapan nabi yakin benar bahwa ucapannya mengandung makna yang dalam dan mengandung kebenaran.
6.      Para sahabat memiliki daya ingat dan hafalan yang sangat kuat.
7.     Para tabi'in menganggap bahwa apa yang mereka terima dan yang ada pada nabi adalah suatu yang berharga.
F.    Ummahatul Muknminin dalam Meriwayatkan Hadits

     Dalam lintas sejarah Islam, Umahatul mukminin mempunyai peranan yang sangat penting dalam penyebaran hadis dan pengajaran agama pada generasi sahabat dan tabi’in terutama kepada kalangan wanita muslimah. Tidak dapat dipungkiri, bahwa mereka adalah wanita-wanita mulia yang mendapat kesempatan merekam secara detail segala perikehidupan Rasulullah saw, yang kemudian disampaikan pada kaum muslimin. Mereka merupakan rujukan pertama bagi para sahabat – setelah wafatnya Rasulullah saw– dalam menanyakan masalah-masalah tertentu, terlebih masalah yang berkaitan dengan keluarga dan wanita. Rumah-rumah mereka dijadikan sebagai madrasah-madrasah ilmu, tempat kaum muslimin bertanya dan meminta fatwa. Sehingga keberadaan Ummahatul mukminin menempati posisi terpenting, baik sebagai sumber pembelajaran ataupun sebagai figur teladan — khususnya bagi kaum muslimah — dalam keimanan. Begitu juga dalam komitmen mereka mempertahankan norma-norma Islam, dimana mereka harus mengemban kewajiban-kewajiban khusus dan berat, sebagai konsekwensi logis atas tingkatan prestise yang mereka dapat melampaui wanita-wanita lain dalam masyarakat , sebagaimana firman Allah swt dalam surat al-Ahzab ayat 32-33, yang artinya :
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita-wanita lain jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu “tunduk” dalam berbicara, sehingga berkeinginan orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah terdahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya,. Sesungguhnya Allah ingi menghilangkan dosa dari kamu hai Ahlu bait dan memberihkanmu sebersih-bersihnya.”
Bagaimanapun, Al-quran dan hadis juga menggambarkan mereka sebagai sejumlah gambaran pribadi yang diwarnai berbagai konflik. Bahkan, mereka merupakan pemicu turunnya mayoritas ayat-ayat dan hadis-hadis tentang keluarga dan wanita. Mereka digambarkan sebagai implementasi emosionalisme, irrsionalitas, keserakahan dan sikap pembangakangan perempuan, yang pada dasarnya, mewakili gambaran sikap dan tindak tanduk perempuan secara keseluruhan.
Rasulullah saw wafat dan meninggalkan sembilan Ummahatul mukminin, yang masing-masing mempunyai andil dalam periwayatan hadis. Perbedaan kuantitas hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah saw, dipengaruhi sedikitnya oleh 5 faktor, yaitu :
1.      perbedaan daya tangkap, daya hafal dan kapasitas intelektual.
2.      perbedaan durasi waktu mendampingi atau bersama dengan Rasulullah saw.
3.      perbedaa dalam menahan diri untuk meriwayatkan hadis
4.      perbedaan kesibukan
5.      perbedaan umur atau masa hidup setelah Rasulullah saw wafat.



BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
          Demikian pengantar singkat mengenai hadits sebagai sumber ajaran ajaran islam bagi umat islam. Kedudukan hadist sangat penting sebab banyak ayat al-quran yang tidak dapat dipahami dengan baik dan tidak dapat diamalkan tanpa penjelasan dari hadits Nabi Muhammad SAW.
            Dalam memahami ajaran islam dan mengamalkannya dengan benar dan baik umat islam harus berpegang pada Al-Quran dan Hadits. Karena itu para ulama berusaha keras untuk mengumpulkan hadits dalam berbagai kitab yang sekarang dapat kita jumpai. untuk memahami hadis para ulama juga menyusun kitab-kitab hadis yang mencoba menjelaskan hadits dari berbagai aspek serta menghubungkannya dengan Al-Quran.
            Karena hadits sifatnya berbeda dengan Al-Quran  dan tidak ditulis pada zaman nabi maka masuk kedalamnya hadits-hadits palsu. Namun kepalsuan tersebut segera dapat diketahui berkat usaha keras para ulam menetapkan prinsip-prinsip penyaringan hadits. Kini telah tersedia hadits-hadits sebagai hasil dari ulama terdahulu. Umat islam tidak lagi sulit menentukan kualitas-kualitasnya, shahih, sunan, dhaif dan sebagainya.
            semoga apa yang disampaikan pada makalah ini dapat membantu untuk memahami dan mendalami hadits lebih lanjut. Semoga Allah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua. Anim...




DAFTAR PUATAKA


Hakim, MA,Drs. Atanng abdul dan Dr. Jaih Mubarok.2001.Metodologi Studi Islam.Bandung:PT Renaja rosdakarya.

Nata,MA,Drs. Abuddin.1994.Al-Qur’an dan Hadits.Jakarta:PT rajagrafindo Persada

http//www.google.com






Tidak ada komentar:

Posting Komentar